Seorang
muslim jika melakukan beberapa amal ibadah dan taqarrub kepada Allah
akan merasakan hatinya tentram, jiwanya tenang, menerima serta qana’ah
dengan pemberian Allah Ta’ala. Bahkan, terkadang lahir dalam dirinya
perasaan sudah memberikan hak-hak Allah. Terkadang perasaan ini
mendatangkan kekaguman dan bangga dengan ibadahnya.
Orang-orang
shaleh tidak akan melakukan hal tersebut. Karena orang-orang shaleh
selama-lamanya selalu rindu kepada Allah dan takut kalau-kalau
ibadahnya tidak diterima. Bahkan, dia beranggapan amalnya tidak pantas
diterima oleh Allah.
Allah Ta’ala berfirman tentang mereka,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
"Dan
orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati
yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali
kepada Tuhan mereka." (QS. Al-Mukminun: 60)
Aisyah radliyallaahu 'anha berkata, “Aku telah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tentang ayat ini, apakah mereka orang-orang yang minum khamer, pezina, dan pencuri? Beliau menjawab, “Tidak,
wahai putri al-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa,
menunaikan shalat dan shadaqah namun mereka takut kalau amalnya tidak
diterima.” (HR. Muslim, kitab al Imarah, bab man qatala li al Riya wa al sum’ah istahaqqa al naar, no. 1905)
Imam
Ibnul Qayyim berkata, “Puas dengan ketaatan yang telah dilakukan adalah
di antara tanda kegelapan hati dan ketololan. Keraguan dan kekhawatiran
dalam hati bahwa amalnya tidak diterima harus disertai dengan
mengucapkan istighfar setelah melakukan ketaatan. Hal ini karena dirinya
menyadari bahwa ia telah banyak melakukan dosa-dosa dan banyak
meninggalkan perintah-Nya."
Allah
telah memerintahkan kepada para hujjaj untuk mengucapkan istighfar
setelah mereka rampung dari melaksanakan ibadha haji. Hal ini sebagai
penyempurna dan kemuliaan. Allah Ta’ala berfirman:
فَإِذَا
أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ
الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ
لَمِنَ الضَّالِّينَ ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ
وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Maka
apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di
Masy`arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian bertolaklah kamu dari tempat
bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Baqarah: 198-199)
Syaikh
al-Sa'di mengatakan, "Beginilah seharusnya yang dilakukan hamba, setiap
selesai dari melaksanakan ibadah dia beristighfar (meminta ampun) kepada
Allah atas kealpaan dan bersyukur kepada Allah atas taufiq-Nya. Tidak
seperti orang yang melihat dirinya telah menyempurnakan ibadah dan
berbangga di hadapan Tuhannya."
Dalam surat lain Allah menjelaskan,
الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
"(Yaitu)
orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan
hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur." (QS. Ali Imran: 17)
Imam al
Hasan menjelaskan ayat ini, bahwa mereka adalah orang-orang yang lama
dalam menjalankan shalat sampai menjelang waktu sahur (akhir malam)
kemudian mereka duduk dengan mengucapkan istighfar (meminta ampunan)
kepada Allah.
Dalam hadits shahih dijelaskan bahwa ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam selesai mengucapkan salam dari shalatnya, maka beliau mengucapkan istighfar tiga kali. (HR. Muslim dari Tsauban)
Diriwayatkan dari Tsauban radliyallah 'anhu, berkata: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, apabila telah selesai melaksanakan shalat beliau beristighfar tiga kali." (HR. Muslim)
Jangan Bersandar Pada Amal
Bersandarkan
pada amal saja akan melahirkan kepuasan, kebanggaan, dan akhlak buruk
kepada Allah Ta’ala. Orang yang melakukan amal ibadah tidak tahu apakah
amalnya diterima atau tidak. Mereka tidak tahu betapa besar dosa dan
maksiatnya, juga mereka tidak tahu apakah amalnya bernilai keikhlasan
atau tidak. Oleh karena itu, mereka dianjurkan untuk meminta rahmat
Allah dan selalu mengucapkan istighfar karena Allah Mahapengumpun dan
Mahapenyayang.
Masuk Surga Bukan Karena Amal
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَنْ
يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ لَا وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ
بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
"Sungguh
amal seseorang tidak akan memasukkannya ke dalam surga." Mereka
bertanya, "tidak pula engkau ya Rasulallah?" Beliau menjawab, "Tidak
pula saya. Hanya saja Allah meliputiku dengan karunia dan rahmat-Nya.
Karenanya berlakulah benar (beramal sesuai dengan sunnah) dan berlakulah
sedang (tidak berlebihan dalam ibadah dan tidak kendor atau lemah)." (HR. Bukhari dan Muslim, lafadz milik al-Bukhari)
Sesungguhnya
seseorang tidak akan masuk surga kecuali dengan rahmat Allah. Dan di
antara rahmat-Nya adalah Dia memberikan taufiq untuk beramal dan hidayah
untuk taat kepada-Nya. Karenanya, dia wajib bersyukur kepada Allah dan
merendah diri kepada Allah.
Tidak
layak dia bersandar kepada amalnya untuk menggapai keselamatan dan
mendapatkan derajat tinggi di surga. Karena tidaklah dia sanggup
beramal kecuali dengan taufiq Allah, meninggalkan maksiat dengan
perlindungan Allah, dan semua itu berkat rahmat dan karunia-Nya.
Karena tidaklah dia sanggup beramal kecuali dengan taufiq Allah, meninggalkan maksiat dengan perlindungan Allah, dan semua itu berkat rahmat dan karunia-Nya.
Seorang
hamba tidak pantas membanggakan amal ibadahnya yang seolah-olah bisa
terlaksana karena pilihan dan usahanya semata, apalagi ada perasaan
telah memberikan kebaikan untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan amal ibadah hamba-hamba-Nya. Dia Mahakaya, tidak butuh kepada makhluk-Nya.
Allah Ta'ala berfirman dalam hadits Qudsi, "Wahai
hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antaramu,
dari kalangan manusia dan jin, mereka itu bertaqwa seperti orang yang
paling bertaqwa di antaramu, maka tidak akan menambah kekuasaan-Ku
sedikit pun. Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang
terakhir di antaramu, dari kalangan manusia dan jin, mereka itu berhati
jahat seperti orang yang paling jahat di antara kamu, tidak akan
mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga." (HR. Muslim dari Abu Dzar al Ghifari, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam)
Oleh: Badrul Tamam
Sumber : voa-islam.com
0 komentar:
Posting Komentar